STRES LINGKUNGAN

Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologi. Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan.
Stres yang di akibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan daerah menarik, sebagai reaksi stimulus yang tidak di inginkan. Dengan kondisi tersebut maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stres akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi stres.
Baum, Singer dan Baum (dalam Evans,1982) mengartikan stres lingkungan dalam tiga faktor, yaitu :
a. stressor fisik (misalnya: suara)
b. penerimaan individu terhadap stresor yang dianggap sebagai ancaman
c. dampak stresor pada organisme (dampak fisiologis)
Menurut Bell dkk. (1978) semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasan berupa adaptasi dan adjusment, dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus menjadi semakin lemah.
SUMBER : Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok:Gunadarma

TERITORIALITAS

Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya yang sering memiliki ciri pemilikannya dan pertahanan dari orang lain.
1. elemen-elemen Teritorialitas
menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu:
a. kepemilikan atau hak dari suatu tempat
b. personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
c. hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar
d. pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kebutuhan kognitif
SUMBER : Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok:Gunadarma

STRES

Istilah stress dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Senhert, 1981) yang mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stress dapat digunakan untuk menunjukan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai factor psikologis atau factor fisik atau kombinasi dari kedua factor tersebut. Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Menurut Korchin (1976) keadaan stress muncul apabila tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang.

MODEL STRES
Cox (dalam Crider dkk, 1983) mengemukakan tiga model stress, yaitu:
a. Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Model ini mencoba untuk mengidentifikasikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkungan yang sulit. Pusat perhatian pada model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari peristiwa lingkungan.
b. Stimulus-based model
Model sters ini memusatkan prhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah sebagai berikut:
1) Overload
Karaktristik ini diukur ketika sebuah stimulus dating secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.
2) konflik
Konflik diukur ketika sebuah sebuah stimulus secara stimultan mebangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesuaian.
3) Uncontrollability
Uncontrollability adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas atai tidak tergantung pada perilaku diman pada situasi ini menunjukan tingkat stress yang tinggi.
c. Interactional Model
Model ini merupakan perpaduan dari response-based model dan stimulus based model. Ini mengingatkan bahwa dua modek terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mengcoping (mengatasi).

SUMBER : Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok:Gunadarma

Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku

Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dan perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan social. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapt mengatur kappa harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalm kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakan.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Dari beberapa pendapat di atas, dapt di ambil suatu kesimpulan bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi social yang kompleks di dalam kelompok social, kedua privasi membantu kita menetapkan perasaan identitas pribadi.
SUMBER : Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok:Gunadarma

PRIVASI

Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).
Rapport (Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatau kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; kira, 1996 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.
1. Factor-faktor yang mempengaruhi privasi
a. Factor Personal
Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonym dan reserve saat ia dewasa. Sedangkan orang yang menghabiskan waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy.
b. Factor Situasional
Beberapa penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri.
c. Factor Budaya
Tidak dapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimilki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal didalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Giford, 1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) di suatu desa di abgian Selatan India menunjukan bahwa semau keluarga memilki rumah yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya.
SUMBER : Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok:Gunadarma

RUANG PERSONAL (personal space)

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakn sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah in I juga di paki dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Beberapa defines ruang personal secara implicit berdasarkan hasil penelitian, antara lain :
1. Ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain.
2. Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
3. Pengaruh ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
4. Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stress, dan bahkan perkelahian.
5. Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi social terdapat empat zoan spasial yang meliputi: jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak public. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman,1975)

Jarak intim adalah jarak yang dekat/akrab atau keakraban dengan jarak 0-18 inci. Menurut Hall pada jarak yang akrab ini kemunculan orang lain adalah jelas sekali dan mungkin suatu saat akan menjadi sangat besar karena sangat meningkatnya masukan panca indera.
Jarak yang kedua adalah personal pribadi (personal distance) yang memiliki jarak antara 1,5-4 kaki. Jarak ini adalah karakteristik kerenggangan yang biasa dipakai individu satu sama lain.
Jarak yang ke tiga adalah jarak social, yang mempunya jarak 4-25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak social yang umum serta hubungan bisnis.
Daerah yang keempat adalah Zona Publik, yaitu pada jarak 12-25 kaki atau jarak-jarak dimana isyarat-isyarat komunikasi lebih sedikit dibandingkan dengan daerah-daerah terdahulu.
SUMBER : Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok:Gunadarma